Posted by : Unknown
Minggu, 03 April 2016
A. Sejarah
Perkembangan Sengketa Dagang di Indonesia.
Di sini saya akan
menceritakan bagaiamana sejarah berkembangnya
sengeketa
dagang di Indonesia,berkembangnya usaha
perniagaan di Indonesia telah membawa pada suatu segi yang lain dari
perniagaan itu sendiri, yaitu harapan agar dapat menyelesaikan setiap
sengketa yang timbul dengan cepat, murah dan sebaik-baiknya. Dengan
pengertian sebaik-baiknya dimaksudkan, bahwa penyelesaian sengketa tersebut
tidak akan mengganggu sengketa iklim bisnis antara pihak yang bersengketa
di samping terjaminnya relasi business dari para pihak karena dipegang
teguhnya kerahasiaan. Dalam arti kata sehari-hari “sengketa” dimaksudkan
sebagai kedudukan dimana pihak-pihak yang melakukan upaya
perniagaan mempunyai masalah, yaitu menghendaki pihak lain untuk berbuat
atau tidak berbuat sesuatu tetapi pihak lainnya menolak untuk berbuat
demikian. Dunia perniagaan modern berpaling kepada ADR
sebagai penyelesaian sengketa alternatif karena keperluan perniagaan
modern menghendaki penyelesaian sengketa yang cepat dan tidak menghambat
iklim perniagaan sedangkan lembaga penyelesaian sengketa yang tersedia
(yaituPengadilan) dirasa tidak dapat mengakomodasikan harapan demikian.
Upaya penyelesaian sengketa alternatif ini merupakan upaya yang paling tua
yang telah dikenal sejak bangsa Mesopotamia yang tinggal diantara
sungai Euphrat dan Tigris yang menyelenggarakan satu bentuk perwasitan
dimana Raja Mesilin memutus
sengketa antara 2 suku yang bersengketa. Demikianlah, maka alternatif
untuk menghindari kemacetan penyelesaian sengketa ini banyak menjadi
pilihan. Timbullah lembaga lembaga yang dikenal sebagai “good offices” sebagai bentuk
penyertaan pihak ketiga yang membawa pihak yang bersengketa kemeja
perundingan apabila negosiasi sudah tidak mungkin lagi. Good offices
inilah sebetulnya yang merupakan bentuk penyertaan pihak ke-3 yang paling
awal sebagai penyedia fasilitas.
Dari tahapan “good offices” ini biasanya berlanjut
ketahapan mediasi yang dalam arti dasarnya sudah melangkah ke pengertian
menengahisengketa sehingga lebih aktif dari “good offices”. Selangkah dari
mediasi adalah memasuki tahap konsiliasi dimana tidak dibawa usulan
penyelesaian sehingga
secara lebih aktif membantu dan mengarahkan para pihak untuk sampai pada
kesimpulan penyelesaian sengketa yang dapat disepakati pihak pihak. Apabila ternyata para pihak sudah tidak lagi
melihat celah penyelesaian berdasarkan “take and give” diantara para pihak
di samping bahwa sengketa tersebut tidak lagi mendapatkan kekeliruan
penafsiran ataupun kekeliruan konfirmasi dari keadaan faktual (fact
finding) maka dalam keadaan seperti ini tahap penyelesaian sengketa yang
paling wajar adalah melalui arbitrase.
Sebetulnya dengan memilih upaya ADR pihak yang
bersengketa seharusnya mengacu kepada kontraknya sendiri (apabila ada),
yaitu kepada klausul kontrak yang menunjuk kepada penggunaan pihak ke-3
untuk membantu apabila negosiasi tidak berhasil, yaitu melalui jasa-jasa
baik, mediasi dan konsiliasi di satu pihak serta arbitrase di lain pihak.
Sudah barang tentu masing-masing dengan tata cara penanganannya
sendiri dengan “rules of procedure” yang berlaku.
Apabila yang dipilih ternyata arbitrase maka karena sifat
putusan arbitrase sebagai putusan yang mengikat, maka sebaiknya dalam
kontrak yang bersangkutan diatur dengan tegas dan terinci tentang
perangkat ketentuan mana yang akan diikuti, apakah misalnya
ketentuan-ketentuan BANI, UNCITRAL dan sebagainya serta hukum yang
dipilihnya (choice of law).
Sebetulnya dalam proses arbitrase, misalnya dalam
ketentuan BANI, lembaga jasa baik, mediasi dan konsiliasi sudah tercakup.
Hal ini disebabkan pada
waktu berjalannya proses terutama pada sidang pertama para arbiter secara
berulang-ulang menawarkan agar pihak pemohon dan termohon bernegosiasi lagi apabila dianggap masih mungkin dan
apabila dianggap perlu dengan ikut sertanya arbiter.
Perkembangan selanjutnya dalam bidang penanaman modal ini
adalah dengan dikeluarkannya PP Nomor 24 Tahun 1994 yang memberikan kemungkinan
bagi investor asing untuk memiliki 100% saham dari perusahaan asing di
Indonesia serta membuka peluang usaha pada bidang-bidang yang sebelumnya masuk
ke dalam bidang tertutup (negative list). Perkembangan penanaman modal asing
yang lain adalah mengenai Daftar Negatif Investasi (DNI) yang pada sebelumnya
disebut Daftar Skala Prioritas (DSP) pemerintah telah melakukan perubahan dan
menyederhanakan dengan mengatur bidang-bidang usaha yang tertutup bagi
penanaman modal dalam rangka investasi modal asing. Pada tahun 1998, DNI ini
diatur dalam Keppres Nomor 96 Tahun 1998 dan Keppres Nomor 99 Tahun 1998. Kedua
peraturan tersebut dirubah dengan Keppres Nomor 96 Tahun 2000 yang kemudian
diubah lagi dengan Keppres Nomor 118 Tahun 2000. Perkembangan yang paling
terakhir adalah dengan digantinya Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang
Penanaman Modal dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal.
B.
Teori Umum Hukum Perdata Internasional
Perjanjian investasi modal asing merupakan perjanjian
yang bersifat internasional. Hal ini disebabkan adanya unsur asing di dalam
perjanjian tersebut sehingga berada dalam ruang lingkup hukum perdata
internasional. Lantas hukum mana yang berlaku apabila terdapat unsur asing
di dalamnya ?
Pada prinsipnya, perjanjian investasi modal asing di
Indonesia dilakukan dengan adanya pemakaian asas kebebasan berkontrak sesuai
dengan ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata. Kebebasan dalam hal ini yaitu kebebasan
bagi para pihak untuk menentukan pilihan hukum (choice of law), pilihan forum
(choice of jurisdiction), dan pilihan domisili (choice of domisili). Selain itu
dikenal juga istilah “Partij Autonomie” yang merupakan titik paut penentu pada
perjanjian-perjanjian internasional. Partij Autonomie merupakan suatu
keadaan dimana para pihak dalam suatu perjanjian bebas untuk menentukan
pilihan, mereka dapat memilih sendiri hukum yang digunakan dalam perjanjian
mereka. Pilihan hukum adalah hukum yang dipilih para pihak dalam kaitan
timbulnya sengketa sebagai akibat pelaksanaan hubungan hukumnya.
Terdapat 4 macam pilihan hukum yang dikenal dalam hukum
perdata internasional, yaitu:
1. Secara tegas (uitdrukkelijk met zovele woorden)
2. Secara diam-diam (stilzwijgend)
3. Secara dianggap (vermoedelijk)
4. Secara hipotesis (hypothetische partijwil)
Namun, apabila tidak tercantum pilihan hukum dalam
perjanjian internasional yang dibuat para pihak, maka pengadilan atau lembaga
arbitrase harus menggunakan faktor-faktor mana yang paling signifikan (The most
significantly connected), yaitu:
1. Lex loci contractus.
2. Lex loci solutionis.
3. The proper law of the contract.
4. The most characteristic connection.
C. Pengaturan Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal
Di Indonesia
Sebelum membahas pengaturan penyelesaian sengketa
penanaman modal di Indonesia, perlu kita ketahui ketentuan-ketentuan yang
bersifat internasional yang mana merupakan hasil dari kesepakatan banyak negara
di seluruh dunia. Dalam rangka untuk menarik investor asing untuk menanamkan
modalnya di Indonesia, pemerintah telah menandatangani 2 konvensi penting
terkait dengan penyelesaian sengketa antara investor asing melawan partner
lokal dan antar investor asing melawan Pemerintah Republik Indonesia melalui
forum arbitrase. Dua konvensi internasional tersebut adalah Konvensi New York
1958 (diratifikasi dalam Keppres No. 34 Tahun 1981) dan Konvensi ICSID
(ratifikasi Convention on the Settlement of Investment Disputes Between States
and Nationals of Other States). ICSID dalam hal ini merupakan satu-satunya
lembaga arbitrase asing yang hanya menangani sengketa investasi modal asing. Dari Pasal 32 ayat (1), dapat diketahui penyelesaian
sengketa melalui forum pengadilan ataupun arbitrase merupakan jalan terakhir
bagi para pihak dalam perjanjian. Kata musyawarah dan mufakat dapat diartikan
sebagai adanya proses mediasi, konsiliasi, serta negosiasi. Pada umumnya ketiga
proses tersebut sering dilakukan terlebih dahulu oleh para pihak apabila
terjadi sengketa. Hal ini dikarenakan, untuk menyelesaikan perkara melalui
pengadilan ataupun arbitrase seringkali memakan biaya, waktu, dan tenaga. Pada
prakteknya, ketiga proses tersebut digunakan terlebih dahulu sebelum diajukan
ke forum pengadilan ataupun arbitrase.
Berdasarkan Pasal 32 ayat (3) dan (4), dapat ditarik
intisari, yaitu dalam hal terjadi perselisihan sengketa penanaman modal asing
terdapat 2 pihak:
1. Partner asing dengan partner lokal dalam kerja
sama mereka atau suatu joint venture, atau;
Hal yang perlu diperhatikan adalah apabila terjadi
perselisihan sengketa, apakah suatu negara akan tunduk pada keputusan
pengadilan negeri lain, karena hal ini berkaitan dengan masalah kedaulatan.
Apakah dengan hal ini, kita menyerahkan kedaulatan kepada mereka begitu saja ?
Dalam Pasal tersebut dipaparkan bahwa pengakuan dan
pelaksanaan suatu putusan arbitrase dapat ditolak berdasarkan permohonan pihak
yang diminta untuk melaksanakan putusan tersebut. Penolakan ini dapat terjadi
apabila pihak yang meminta penolakan tersebut dapat membuktikan hal-hal yang
tercantum dalam Pasal V kepada pejabat yang berwenang di tempat pengakuan dan
pelaksanaan putusan arbitrase tersebut diminta, yaitu:
a. Para pihak yang tidak berwenang untuk membuat
perjanjian arbitrase.
b. Pemberitahuan yang tidak lazim tentang akan atau
sedang berlangsungnya proses arbitrase kepada pihak yang berkepentingan.
c. Arbiter telah melampaui batas wewenangnya.
d. Jumlah arbitrase atau prosedur arbitrase yang
tidak sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan.
2. Investor
asing dengan pemerintah.
Indonesia dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1968 (LN
1968-32) memberikan persetujuan atas Konvensi Tentang Penyelesaian Perselisihan
Antar Negara dan Warga Negara Asing mengenai Penanaman Modal tersebut. Konvensi
ini sering disebut juga dengan Konvensi Washington yang disponsori oleh Bank
Dunia atau Konvensi ICSID. ICSID mempunyai jurisdiksi atas sengketa yang sedang
berlangsung antar negara penandatangan dengan warga negara dari negara
penandatangan lainnya berdasarkan Chapter II Konvensi ICSID, dengan memberikan
suatu persetujuan bersama untuk mengajukan sengketa tersebut kepada ICSID.
Penyelesaian sengketa menurut ICSID ini dapat dibagi
menjadi 2, yaitu melalui konsiliasi atau arbitrase. Pertama, penyelesaian
sengketa melalui konsiliasi dilakukan dengan membentuk suatu Komisi Konsiliasi
yang didasarkan atas kesepakatan para pihak, berkewajiban untuk menjelaskan
masalah-masalah yang menjadi sengketa dan usaha agar kedua belah pihak yang
bersengketa mencapai kesepakatan penyelesaian menurut syarat-syarat yang dapat
diterima keduanya. Komisi tersebut dalam setiap proses, dapat memberikan
rekomendasi untuk penyelesaian sengketa para pihak. Kedua, penyelesaian
sengketa melalui arbitrase diatur dalam ketentuan pasal 36 (1) yang menyatakan,
bahwa setiap warga penandatangan atau warga negara dari negara penandatangan
berkeinginan untuk melakukan penyelesaian sengketa melalui arbitrase, harus
mengajukan permintaan tersebut secara tertulis kepada Sekretaris Jenderal ICSID
dan harus mengirimkan salinan kepada pihak lain. Di Indonesia, badan arbitrase
nasional yang ada, yaitu Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) memberikan
klausula sebagai berikut : “Semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini akan
diselesaikan dalam tingkat pertama dan terakhir menurut peraturan prosedur BANI
oleh arbitrase yang ditunjuk menurut peraturan tersebut”.
Dalam hubungan bisnis kadang terjadi sesuatu yang berada
di luar kehendak para pihak, sehingga salah satu pihak tidak dapat memenuhi
kewajibannya kepada pihak lainnya, misalnya keterlambatan pengiriman barang.
Contoh ini seringkali melahirkan perselisihan diantara mereka. Untuk
menyelesaikan perselisihan ini maka akan sampai kepada persoalan hokum mana
yang akan dipakai. Masalah ini tidaklah mudah karena pihak-pihak yang berasal
dari negara-negara yang sistem hukumnya berbeda, cara penafsiran yang
berlainan, serta latar belakang pendidikan hukum dari para ahli hukumnya akan
mempengaruhi pemilihan hukum yang tepat. Dalam menghadapi kontrak semacam ini
dimana timbul pertanyaan tentang hukum mana yang harus dipakai terdapat dua
macam pilihan hukum, yaitu : (1) Pilihan hukum secara tegas, misalnya dalam
klausula tambahan ditentukan, bahwa untuk perjanjian jual beli berlaku
ketentuan hukum Indonesia, dan (2) Pilihan hukum secara diam-diam dimana para
pihak tidak memilih hukum mana yang akan berlaku tetapi pilihan hukum itu.
Hukum dari pihak inilah yang akan dipakai, misalnya dalam
hal jual beli yang melakukan prestasi yang paling karakteristik adalah pihak
penjual. Ialah yang harusmenyediakan barangnya, ia harus memproduksinya,
pengirimannya, transportasi, pengapalan kepada pembeli. Semua usaha ini yang
menjadikanpihak penjual sebagai pihak yang paling karakteristik apabila
dibandingkan dengan pihak pembeli yang hanya mengeluarkan uang. Kadang-kadang
para pihak dalam kontrak setuju untuk menyelesaikan sengketa mereka dengan
tidak memakai hukum negara salah satu pihak tetapi memakai ketentuan hukum
kebiasaan atau berdasarkan praktek-praktek perdagangan internasional yang sudah
umum dipakai. Inilah yang disebut Lex Mercatoria (the Laws of Merchant) atau
the Law of International Trade. Unsur-unsur yang dapat menjadi Sumber Hukum Arbitrase
adalah Hukum Internasional Publik (Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian
Internasional), Convention on the Settlement of Investment Disputes 1965,
Ketentuan-ketentuan hukum yang seragam (Uniform Law on Sales on Goods 1964) dan
The Convention on Contract for the International Sale of Goods 1980),
Prinsip-prinsip Hukum Umum (Pacta Sunt Servada), Ketentuan-ketentuan Hukum Yang
Dikeluarkan oleh Organisasi-organisasi Internasional, misalnya Resolusi PBB
yang mengurus soal perdagangan dan pembangunan, yaitu UNCTAD (United Nations
Commission on Trade and Development), dan Kebiasaan-kebiasaan dalam Perdagangan
Internasional (Lex Mercatoria).
Pada saat ini, penyelesaian sengketa investasi modal
asing melalui lembaga arbitrase internasional pada umumnya lebih memadai
dibandingkan dengan penyelesaian sengketa melalui pengadilan umum. Di
Indonesia, dengan telah diratifikasinya konvensi internasional terkait dengan
penyelesaian sengketa investasi modal asing, maka iklim investasi di Indonesia
menjadi lebih sehat. Hal ini ditunjukkan dengan diundangkannya Undang-undang
Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang merupakan nilai positif bagi
Indonesia dalam rangka menegakkan supremasi hukum serta sebagai daya tarik
investor asing untuk berkeinginan menanamkan modalnya di Indonesia.
Penyelesaian sengketa investasi modal asing merupakan
sebuah persoalan yang relatif ada bagi negara yang membuka diri terhadap
investasi asing di negaranya. Negara-negara yang merasa bahwa eksistensi
investasi akan memberikan implikasi yang besar bagi pemasukan negara, maka akan
sedemikian rupa men-design sistem hukumnya agar mampu berkolaborasi dengan
kepentingan investasi tanpa mengorbankan kepentingan bangsa dan negara.
Indonesia sebagai negara yang juga membuka pintu investasi dalam upaya
pemanfaatan pelauang investasi dan sebagai resiko bagian masyarakat
internasional yang mau tidak mau harus membuka peluang investasi bagi pelaku
usaha manapun dan darimanapun, juga telah meregulasi aturan-aturan investasi, terbaru
adalah Undang-undang tentang Penanaman Modal No.25 Tahun 2007, Undang-undang
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa No. 30 tahun 1999, dan
aturan hukum internasional yang diratifikasi terkaitpenyelesaian sengketa
investasi dan perdagangan.
DAFTAR
PUSTAKA
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani. Hukum Arbitrase.
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001).
Khairandy, Ridwan.Iklim Investasi dan Jaminan
Kepastian Hukum dalam Era Otonomi Daerah. Jurnal Hukum Republica, Vol 5 No
2, 2006.
Organski, A. F. K.The Stages of Political Development. New
York: Knopf, 1965
Ridgway, Delissa A. dan Mariya A. Talib.Globalization
and Development: Free Trade, Foreign Aid, Investment and The Rule of Law.California
Western International Law Journal, Vol 33, 2003.
Rajagukguk, Erman. Hukum Investasi di Indonesia:
Anatomi Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.Jakarta:
Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar, 2007.
Gautama, Sudargo. Capita Selecta Hukum Perdata
Internasional. Bandung: Alumni, 1983.
Panggabean, Rohani. “Kontrak (Perjanjian)” .
Diakses tanggal 28 Mei 2008.
Ekonomi Indonesia Bisa Booming – Jika Pemerintah Serius
Lakukan Reformasi. Media Indonesia, 2000.
Chairul Anwar, Hukum Perdagangan Internasional, Novindo
Pustaka Mandiri, Jakarta 1999.
Huala Adolf, Arbitrase Komersial Internasional, Rajawali
Press, Jakarta, 1991.
Komar Kantaatmadja, Beberapa Hal Tentang Arbitrase,
FH-Unpad, Bandung, 1989.
Sudargo Gautama, Arbitrase Dagang Internasional, Alumni,
Bandung, 1979.
_________, Arbitrase Bank Dunia Tentang PMA di Indonesia
dan Yuriprudensi Indonesia Dalam Perkara Hukum Perdata, Alumni, Bandung, 1994.
[2] Ridwan
Khairandy,Iklim Investasi dan Jaminan Kepastian Hukum dalam Era Otonomi
Daerah, Jurnal Hukum Republica, Vol 5 No 2, 2006. Hal 51.
[3] Delissa
A. Ridgway dan Mariya A. Talib,Globalization and Development: Free Trade,
Foreign Aid, Investment and The Rule of Law, California Western
International Law Journal, Vol 33, 2003. Hal 335.
[4] Erman Rajagukguk,Hukum Investasi di Indonesia:
Anatomi Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal(Jakarta:
Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar, 2007, Hal 27.
[5] Ekonomi Indonesia Bisa Booming – Jika Pemerintah Serius
Lakukan Reformasi, Media Indonesia, 2000.
[8] Rohani
Panggabean. Kontrak (Perjanjian)<http://toruanaccountingtax.blogspot.com/2007/04/kontrak-perjanjian.html>.
Diakses tanggal 28 Mei 2008.
[9] Makalah
Yudha Bhakti, Penyelesian Sengketa Arbitrase, disampaikan pada
kuliah umum hokum internasional FH UMY, April,2007.
[10] Chairul
Anwar, Hukum Perdagangan Internasional, Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta 1999,
halaman 93.
[14] Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata
Internasional Indonesia, (Jakarta: Binacipta, 1987), hlm 173.
[15] Gunawan
Widjaja dan Ahmad Yani. Hukum Arbitrase.Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2001). Hal 44.